Review Suami untuk Mak: 98 Menit yang Sia-sia
Kunci menonton film ini adalah bersabar... bersabar menunggu filmnya segera selesai. Simak alasannya dalam review Suami untuk Mak berikut.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kunci menonton film ini adalah bersabar... bersabar menunggu filmnya segera selesai. Simak alasannya dalam review Suami untuk Mak berikut.
Sinopsis
Sarah (Lydia Kandou) adalah seorang ibu yang punya lima anak dari lima suami berbeda-beda. Kelima anak tersebut di antaranya Koko (Edric Tjandra), Adul (Cemen), Gilbert (Raim Laode), Bontot (Taufiq Saini), dan Billy (Billy Syahputra).
Tak berapa lama lagi, Sarah akan berulang tahun. Kelima bersaudara itu kemudian berlomba memberikan hadiah untuk ibu mereka. Setelah berdebat, akhirnya mereka memutuskan untuk memberi kado istimewa, yaitu suami untuk mak.
[duniaku_baca_juga]
Kesia-siaan selama 98 Menit
Entah apa yang ada dalam pikiran para produser film ini sehingga ingin dan telah membawa film ini untuk ditayangkan di bioskop. Pasalnya film ini terlihat belum siap tayang, bahkan dari tahap naskah.
Suami untuk Mak sebenarya punya premis cerita yang cukup menarik, apalagi dibuat dengan genre drama-komedi. Perbedaan suku yang dimiliki kelima anak Sarah tadi bisa membawa humor-humor stereotip yang jika ingin dibawa lebih lanjut, bisa memperkaya khazanah film-film tentang keberagaman Indonesia.
Namun keragaman suku kelima anak tadi hanya sampai pada tahap eksposisi bahwa kelima anak tadi berasal dari lima ayah dengan suku yang juga berbeda-beda. Bagaimana Sarah sebagai ibu bisa “menjinakkan” anak-anak yang nakal dan berbeda suku serta agama di bawah atap yang sama? Rasanya tidak pernah dielaborasi lebih lanjut.
Dari daftar nama aktor, kita bisa menebak Amran yang diperankan oleh Rano Karno pasti akan menjadi suami, atau setidaknya bertemu dengan Sarah yang diperankan Lydia Kandou. Suami untuk Mak terlalu fokus membangun jalan cerita yang berkelok-kelok untuk sampai pada pertemuan Amran-Sarah.
Celakanya jalan cerita yang berusaha dibangun ini pun diisi oleh banyak sekali lubang logika. Saking banyaknya lubang logika yang terjadi, koneksi jalan cerita yang satu dengan yang lain menjadi tidak masuk akal. Penulis naskah Vera Zanobia, Ikhsan, dan tim CMI Pictures harusnya dapat menyadari logika dasar yang mereka selewengkan sendiri.
Misalnya saja saat Sarah diperiksa di kantor polisi, kelima anaknya tadi pergi buru-buru tanpa menunggu proses pemeriksaan selesai dengan alasan yang tidak jelas. Sarah jadi harus tinggal bersama Amran untuk mengurus berkas. Setelah selesai mereka pulang sendiri-sendiri, padahal Amran naik mobil. Di kemudian waktu, mobil Amran tertabrak sehingga ia harus masuk rumah sakit. Ke mana Sarah? Naik ojek online?
Menonton Suami untuk Mak ini seperti menonton hasil pekerjaan yang dikerjakan ramai-ramai. Banyak orang menyampaikan ide “Ini tuh harusnya gini coba,” lalu orang lain menimpali, “Oke, terus habis itu gini ya.” Tidak ada satu orang yang memastikan bahwa cerita ini benar-benar bisa berjalan dengan solid atau setidaknya masuk akal.
Dari deretan aktor yang bermain juga menghasilkan performa yang pas-pasan saja. Billy Syahputra berusaha terlalu keras untuk menjadi kakaknya, Olga Syahputra. Tetapi sayangnya ia kurang lucu dan kurang secakap kakaknya dalam berakting ngondek. Pelawak tunggal Cemen yang berperan menjadi Adul adalah yang paling parah dari lima bersaudara. Ia kelihatan tidak nyaman di depan kamera, dan celakanya diberi porsi tampil banyak.
Yang paling kelihatan jelas dalam Suami untuk Mak adalah absennya peran sutradara yang seharusnya diisi oleh Yosua Rocky. Banyak sekali kesempatan di mana para aktor tidak tahu harus berbuat apa di depan kamera, seperti menunggu kapan sutradara berteriak, “Cut!”
Rocky juga gagal dalam menekankan mana adegan yang lucu dan dramatis sehingga harus dibangun dengan sepenuh usaha. Canggung dan tanggung di semua sisi.
Barangkali di sinilah pengalaman berbicara. Hanya Rano Karno dan Lydia Kandau yang terlihat benar-benar menyatu menjadi tokoh dalam film, sementara aktor lain berusaha terlalu keras untuk bermain peran. Keduanya sangat nyaman di depan kamera meskipun sutradara gagal membangun suasana.
Celakanya dalam epilog film, entah atas ide siapa dan dari mana dia mendapat ilham, seseorang meletakkan teks “Semoga wafat pada waktunya” ketika Karno dan Kandau ada di dalam gambar. Memang benar, sih, daripada wafat sebelum waktunya. Tapi perlukah teks tersebut disematkan pada dua orang yang menjadi satu-satunya penyelamat film ini? Dan apa relevansinya terhadap konteks film? Konyol dan tidak respek.
[read_more id="332303"]
Pada akhirnya, menonton film ini mesti sabar menunggu selama 98 menit.