Review The Florida Project: Mereka yang Miskin di Sebelah Disney World
Dari sutradara yang pernah membikin film dengan modal kamera iPhone, inilah The Florida Project, film tentang orang fakir di tanah yang dimimpikan, Disney World.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dari sutradara yang pernah membikin film dengan modal kamera iPhone, inilah The Florida Project, film tentang orang fakir di tanah yang dimimpikan, Disney World.
Sinopsis
Seorang anak umur enam tahun, Moonee (Brooklyn Prince) tinggal bersama ibunya, Halley (Bria Vinaite). Mereka tinggal di sebuah motel yang sering dijadikan tempat tinggal karena harga sewanya murah. Motel tersebut menjadi satu simbol kemiskinan dan dikelilingi oleh sejumlah lokasi hiburan, termasuk Disney World.
Moonee menghabiskan waktu liburan musim panas bersama teman-temannya dengan berbuat onar, dari mulai menipu turis hingga mencuri. Tingkah mereka itu beberapa kali dihentikan oleh Bobby (Willem Dafoe), seorang manajer motel yang berlaku seakan-akan ayah yang protektif.
Ironi di Tanah Mimpi
Puji tinggi pertama-tama disampaikan untuk sinematografer Alexis Zabe, desainer produksi Stephonik Youth, dekorator Kurt Thoresen, dan penata kostum Fernando Rodriguez. Gambar-gambar yang dihasilkan tampil manis dengan warna pastel dan warna pemen seperti ungu, merah muda, biru, hingga kuning
Warna-warna ini berhasil menipu mata, misalnya saja motel tempat Moonee tinggal yang berwarna ungu. Kita seperti melihat dunia dari mata anak-anak: semuanya terlihat cerah dan warna-warni. Apalagi, film ini mengambil lokasi di Florida, terutama lokasi di sekitar Disney World yang beberapa bangunannya tampak seperti bangunan di negeri permen.
Jika diperhatikan lebih seksama, tinggi lensa kamera The Florida Project selalu diletakkan sama tinggi dengan mata anak-anak, seakan-akan kita melihat segala sesuatu lewat mata mereka. The Florida Project tidak pernah memandang rendah para anak-anak ini.
[duniaku_baca_juga]
Disney World punya nama besar sebagai tempat hiburan anak-anak. Sebagai seorang anak yang sering menonton film-film Disney, Disney World adalah tanah impian. Orang dewasa juga rutin berkunjung, menghabiskan duit gajian mereka untuk senang-senang sebentar.
Namun, kemegahan dan mimpi yang dijual oleh Disney bukan milik semua orang. Orang-orang bermimpi untuk tinggal dekat taman bermain tersebut agar mudah untuk datang. Namun, orang-orang yang tinggal dekat, seperti Moonee dan teman-temannya justru tak bisa masuk karena mereka terlalu miskin untuk beli tiket.
Bagi Moonee dan ibunya yang rebel, Halley, Disney bagai menara gading: kelihatan cantik dan megah, namun acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.
Jika melihat narasi tersebut, Disney memang jadi kelihatan jahat. Namun, bukan itu poin dan ide yang ingin disampaikan Sean Baker, si sutradara. Dalam The Florida Project, Disney World hanyalah sekadar simbol ironi. Disney tak bersalah, sebab musuh sesungguhnya orang-orang miskin di sana adalah krisis rumah akibat bencana ekonomi tahun 2008 silam.
Halley (yang diperankan sangat baik oleh aktris yang baru memulai debutnya, Bria Vinaite) adalah ibu yang melahirkan Moonee di usia remaja. Ia tampak masih kekanak-kanakan dan tak punya skill yang bisa ia jual untuk bekerja layak.
Meskipun tak punya modal, tampaknya skill terbaik yang ia punya adalah menjadi orang tua Moonee. Menarik sekali melihat hubungan akrab Halley dan Moonee walaupun tak banyak yang bisa mereka lakukan.
Ada pula Bobby (yang diperankan aktor kawakan Willem Dafoe), seorang manajer hotel yang walaupun punya wajah seram, tapi orangnya baik serta protektif pada Halley, terutama Moonee. Seperti halnya Halley, hidup Bobby juga selalu bergelimang masalah karena tugas kerjanya sebagai manajer adalah menyelesaikan segala persoalan motel.
The Florida Project membandingkan bagaimana cara anak-anak dan orang tua memandang hidup yang brutal ini. Baik Halley, Bobby, dan sejumlah orang dewasa lain berusaha untuk memecahkan segala masalah hidup, namun selalu terbentur ego yang besar (Halley ketika bermusuhan dengan sahabatnya), tanggung jawab (Bobby yang terpenjara pekerjaannya), dan sejumlah aturan yang berlaku.
Sementara itu anak-anak, dengan Moonee sebagai simbol, selalu berpikir kreatif dengan pandangan positif. Moonee, mengajak teman barunya Jancey (Valeria Cotto) dari komplek sebelah ke padang rumput dengan banyak sapi, karena mereka tak mampu untuk bayar tiket masuk wahana Animal Kingdom di Disney World. Motel mereka, Magic Castle, seolah-olah berubah menjadi wahana Magic Kingdom lewat mata mereka. Bukannya malu, mereka justru bahagia di tengah segala keterbatasan.
Sedih dan menohok.
Ide tersebut juga diperkuat dengan akting para aktornya. Brooklynn Prince adalah sang bintang. Ia sangat natural memerankan karakter Moonee yang nakal namun periang. Adegan saat menjelang akhir film itu adalah adegan penting yang berhasil mematahkan hati saking perihnya, dan tak bisa terjadi seperti itu jika bukan karena Brooklynn Prince. Ia seakan-akan lahir untuk peran seperti ini.
Sean Baker pernah menghebohkan jagad perfilman dunia lewat film Tangerine (2015). Film tentang kisah transgender pekerja seks komersial di Los Angeles itu diambil seluruh gambarnya dengan hanya menggunakan kamera iPhone. Simak siapa dia di halaman sebelah.
Film yang Humanis
The Florida Project menggambarkan para tokoh dalam filmnya layaknya manusia seutuh dan senyatanya. Bahwa cerita kemiskinan dalam film ini benar adanya. Keunggulan terkuat dari film produksi studio A24 ini adalah keberaniannya akan kejujuran.
Ia memotret kisah orang-orang marjinal di tempat yang seharusnya sejahtera dan bahagia. Di balik gambarnya yang indah dengan warna pastel, ia menyimpan kebenaran pahit tentang sisi terbawah dari ekonomi negara maju seperti Amerika.
Japan: A Story of Love and Hate (2008), sebuah film dokumenter dari Jepang juga berbicara hal yang sama. Dalam dokumenter tersebut, diceritakan Naoki, seorang mantan pengusaha yang pernah sukses, kini hampir menjadi gelandangan karena bencana ekonomi Jepang.
Tidak seperti di Indonesia, orang-orang miskin kota di Jepang dan Amerika tampak terselubung. Mereka masih punya pakaian yang layak, punya sepeda motor (Naoki) dan iPad (Halley). Namun jika dilihat lebih dalam lewat kehidupan sehari-hari, mereka hidup mengenaskan. Mereka tidak punya kontrol atas apa yang terjadi pada hidup mereka sendiri.
Naoki menghabiskan waktunya bekerja, bekerja, dan bekerja, tetapi masih tetap miskin, begitu juga dengan Halley yang masih bisa makan fast food dan menyewa motel. Namun, sekali hidup mereka digoyahkan oleh satu krisis ekonomi, mereka akan jadi fakir seutuhnya.
Filmmaker dan studio film lain barangkali tidak akan terpikir untuk membuat film dengan tema seperti The Florida Project ini. Industri film Amerika lebih suka memfilmkan hal-hal menarik dan baru. Mereka yang tinggal di rumah besar dan punya mobil mewah itu bahkan barangkali tidak menyadari bahwa orang-orang seperti Halley ini eksis di dunia nyata.
Sean Baker sendiri sudah terkenal karena membikin film dengan tema-tema komunitas terpinggirkan seperti The Florida Project ini. Ia mulai dikenal secara internasional atas filmnya Tangerine (2015)—yang diambil gambarnya lewat kamera iPhone—tentang transgender PSK di Los Angeles, tidak jauh dari Hollywood. Jika dibandingkan, Baker membawa formula yang mirip: Hollywood dalam Tangerine itu adalah Disney World dalam The Florida Project.
Tema yang mirip juga telah dilakukan Baker jauh sebelum Tangerine. Lewat film Take Out (2004), ia berbicara tentang imigran ilegal dari Cina di Kota New York dan film The Prince of Broadway (2008) tentang pedang kaki lima dari Ghana di kota yang sama.
Namun, sutradara 46 tahun ini ogah disebut selalu fokus pada isu-isu marjinal. “Terasa ofensif, ya,” ujarnya pada The Guardian. “Seakan-akan aku selalu merencanakan, ‘Oke, komunitas marjinal mana lagi yang akan kita angkat.’,”
Masih mengikuti gayanya dalam Tangerine, The Florida Project ini juga punya satu momen di mana Baker menggunakan kamera iPhone. Spoiler ahead. Momen itu adalah momen ending saat Moonee berlarian bersama Jancey di Disney World.
Untuk mengambil gambar adegan berkesan tersebut, Baker membatasi kru film yang ada di lokasi dengan hanya ia, satu pelatih akting, sinematografer, dua aktris cilik, dan penjaganya. Oleh karena itu, ia kembali menggunakan kamera iPhone agar tidak ketahuan.
“Aku ingin memberi tahu kepada semua orang yang membaca ini bahwa kamu bisa membikin film panjang lewat kamera di kantungmu.”
Diedit oleh Fachrul Razi